. Ash-Shihhahcorner: Dasar-Dasar Peniadaan Kelalaian Medik
Friday, 17 June 2011

Dasar-Dasar Peniadaan Kelalaian Medik

PENDAHULUAN

Angka kesakitan (morbidity rate) penduduk Indonesia masih cukup tinggi. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2005, persentase penduduk Indonesia yang mempunyai keluhan kesehatan (selama sebulan sebelum survei dilakukan) adalah sebesar 26,51 persen atau sekitar 59 juta jiwa. Dari jumlah ini tercatat penduduk yang berobat jalan (ke Puskesmas, Dokter, rumah sakit) sebesar 38,21 persen atau sekitar 22,5 juta jiwa dan sisanya melakukan upaya pengobatan sendiri. Data Profil Kesehatan Indonesia selanjutnya melaporkan persentase penduduk Indonesia yang berobat ke Puskesmas sebesar 37, 26 persen (21,9 juta jiwa); ke praktik dokter sebesar 24,39 persen (14,3 juta jiwa); ke poliklinik sebesar 3,86 persen (2,27 juta jiwa); rumah sakit pemerintah sebesar 6,01 persen (3,5 juta jiwa); dan ke rumah sakit swasta sebesar 3,32 persen (1,95 juta jiwa). Jumlah penduduk yang sangat besar dalam membutuhkan pelayanan kesehatan dan pengobatan menyebabkan kemungkinan munculnya risiko pengobatan yang tidak diinginkan (baik kelalaian maupun kecelakaan medik) dapat terjadi setiap saat, apakah di Puskesmas, praktik dokter, poliklinik, rumah sakit pemerintah dan di rumah sakit swasta.1


Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Harvard University Amerika Serikat tentang Medical injury danMedical malpractice yang laporannya diterbitkan tahun 2002, dan sampai saat ini laporannya masih menjadi rujukan di AS dan berbagai negara di dunia berkenaan dengan Medical malpractice, bahwa di Amerika Serikat setiap tahunnya terjadi 200.000 kematian akibat “adverse event” dan 120.000 diantaranya (60 persen) terjadi akibat kelalaian medik (medical negligence). 1


Sampai saat ini belum ada studi di Indonesia yang memperlihatkan besarnya angka korban akibat risiko pengobatan yang tidak diinginkan. Namun, angka yang terjadi di AS merupakan cermin bahwa 5 juta pasien rumah sakit di Indonesia (RS pemerintah dan RS swasta) harus dilindungi dari kerugian (baik cedera maupun nyawa) akibat pengobatan yang tidak diinginkan atau risiko medik ini. 1


Dalam sistem hukum di negara kita, yakni hukum positif yang berlaku sampai saat ini, antara lain Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, ketetapan MPR dan perundang-undangan lainnya dengan tegas dan jelas didalamnya tersurat dan tersirat adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan dijaminnya hak-hak tersebut. 2


Selanjutnya berbicara mengenai aspek hukum profesi kedokteran, dan sudah kita ketahui bahwa pada dasarnya hukum itu mengatur tingkah laku orang dan dalam hal ini orang tersebut berprofesi dokter, maka yang perlu diketengahkan adalah mengenai tanggung jawab seorang dokter yang melakukan profesi sebagai dokter. Dan masalah pokok ini hampir mencakup keseluruhan dari kehidupan dokter yang melakukan profesi sebagai dokter.2


Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik dan aspek hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Bahkan di dalam praktek kedokteran, aspek etik seringkali tidak dapat dipisahkan dari aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik yang telah diangkat menjadi norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.3


Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif. 3


Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.3


KELALAIAN MEDIS

Black’s Law Dictionary mendefinisikan malpraktik sebagai “professional misconduct or unreasonable lack of skill” atau “failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all the circumstances in the community by the average prudent reputable member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services or to those entitled to rely upon them”(bahasa mudahnya: lalai).4


Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa malpraktik dapat terjadikarena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence),ataupun suatu kekurang-mahiran/ketidak-kompetenan yang tidak beralasan. Malpraktik dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya oleh dokter. Profesional di bidang hukum, perbankan dan akuntansi adalah beberapa profesional lain di luar kedokteran yang dapat ditunjuk sebagai pelaku malpraktik dalam pekerjaannya masing-masing.4


Berbeda dengan pengertian yang telah dipaparkan sebelumnya, J. Guwandi, S.H. tidak sependapat dengan pendapat yang mengatakan malpraktek lebih baik dianggap sinonim dengan kelalaian. Menurutnya, malpraktek tidaklah sama dengan kelalaian. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian.5


Malpraktek mempunyai pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, onzettelijk) dan melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya suatu motif (mens rea, guilty mind). Sedangkan arti kelalaian lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang teliti, kurang hati-hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya.5


Bentuk risiko medik bermacam-macam, seperti:

a. kesalahan medik (medical error, preventable medical error);

b. kecelakaan medik (medical accident; medical misadventure atau medical mishap);

c. kelalaian medik (medical negligence); adverse event; adverse incident dan lain sebagainya.1


Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu : malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.

1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat/layak (unlawful atauimproper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper).

2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur.

3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya.4


Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini :

1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu.

Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi, etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional. Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.

2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut.

Dengan melihat uraian tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang “normal” sehingga harus dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan “What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or wrong) for any other in an identical situation”.

3. Damage atau kerugian.

Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/ kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian yang nyata adalah “real cost” atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan/pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk perawatan/pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat atau kematian seseorang.

4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”.6

Beberapa contoh kelalaian yang sering terjadi

a. Kelalaian tidak merujuk.

Apabila keadaan pasien secara wajar dapat diatasi oleh dokternya, maka ia tidak wajib untuk merujuk pasien itu kepada seorang dokter spesialis. Oleh karena pasien tidak responsive terhadap pengobatan yang diberikan, tidaklah langsung berarti bahwa ia wajib merujuknya kepada seorang dokter spesialis. Namun apabila seorang dokter mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa kondisi atau kasus pasien itu berada di luar kemampuannya dan dengan merujuknya kepada dokter spesialis akan dapat menolongnya, maka ia wajib melakukannya. Namun, segala sesuatu juga tergantung keadaan financial pasien, keadaan emosi pasien dan keberadaan dokter spesialisnya.

b. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terdahulu.

Kadang-kadang seorang pasien sudah pernah berada di bawah pengobatan dari dokteratau beberapa dokter lain yang memberikan obat-obatan tertentu atau telah melakukan prosedur pembedahan. Untuk mencegah adanya resiko di dalampenerapan suatu prosedur pengobatan adalah sangat dianjurkan untuk mengadakan konsul kepada dokter-dokter terdahulu yang telah memberikan pengobatan sebelumnya.

c. Lalai yang merujuk pasien ke rumah sakit dengan peralatan/tenaga yang terlatih.

Seorang dokter tidak hanya harus sadar akan ilmu pengetahuannya secara pribadi dan keterbatasannya, tetapi juga akan peralatan yang sesuai dalam menangani pasien. Di dalam praktek seorang dokter bias saja berhadapan dengan suatu pasien yang penanganannya memerlukan instrument tertentu khusus dan prosedur yang ia tidak punyai. Atau juga memerlukan asisten dalam menanganinya. Praktek yang baik menuntut agar dokter itu merujuk pasien itu ke suatu rumah sakit dimana tersedia peralatan dan asisten terlatih.

d. Tidak mendeteksi adanya infeksi.

Kegagalan seorang dokter untuk mendeteksi bahwa pasien menderita semacam infeksi, tidak selalu berarti kelalaian. Apabila tidak terdeteksinya infeksi tersebut disebabkan karena keadaannya tidak memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan yang singkat pun, maka tanpa adanya justifikasi yang dapat diterima, ia dapat dipersalahkan karena kekurangan ketelitian. Sebaiknya apabila seorang dokter telah melakukan segala macam pemeriksaan yang oleh para dokter lain juga akan melakukan hal yangh sama apabila berhadapan dengan gejala-gejala sama, maka ia tidak dapat dianggap bertanggung jawab, apabila infeksi itu tidak ditemukan untuk beberapa waktu.

e. Instruksi per telepon.

Adalah merupakan suatu praktek bahaya bagi dokter untuk memberikan pengobatan atau resep kepada pasien per telepon. Selain bertentangan dengan etik, praktek semacam inipun termasuk di bawah standar profesi medic. Demikian pula tidak dianjurkan jika dokter memberikan instruksi kepada perawat dan penjaganya per telepon. Bisa saja perawat yang menerima instruksi per telepon tersebut melakukannya, tetapi hal ini dilakukan atas resikonya sendiri.

f. Tidak bisa dihubungi per telepon.

Seorang pasien diperbolehkan pulang setelah menjalani suatu bedah plastic untuk membuang lemak dibawah mata. Dokter memberikan instruksi bahwa apabila timbul perdarahan didalam waktu 48 jam, maka dokter spesialis itu harus dihubungi. Instruksi ini ini adalah wajar dan penting, karena apabila terjadi perdarahan, maka harus ditangani segera untuk mencegah terjadinya kegagalan operasi. Sebelum 48 jam lewat terjadilah perdarahan, sang pasien menelpon dokter bedah tersebut tetapi tidak mendapatkan jawaban karena dokternya tidak di tempat. Hakim berpendapat bahwa adalah kewajiban dokter bedah itu termasuk pengawasan pasca bedah. Lagipula sudah disetuji bahwa apabila dalam waktu 48 jam terjadi perdaraha, dokter itu minta dihubungi per telepon.

g. Lalai karena kurang pengalaman

Kurangnya pengalaman tidak bias dipakai sebagai pemaaf kelalaian. Hakim banding secara tegas menolak pendapat bahwa adanya variasi dalam standar profesi medic. Hal ini diparalelkan dengan seorang pengendara mobil yang walaupun telah berusaha untuk mengendarai sebaik mungkin, namun ukuran standar adalah sama seperti seorang pengendara lain yang pandai dan berpengalaman.7


Kelalaian adalah dasar penuntutan yang tersering digunakan, baik pada tuntutan pidana maupun pada gugatan perdata, maka upaya meminimalisasi tuntutan di rumah sakit harus ditujukan kepada upaya menurunkan kemungkinan terjadinya kelalaian medis, atau bahkan mengurangi kemungkinan terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors. 8


PEMBUKTIAN ADANYA KELALAIAN

Dalam kasus atau gugatan adanya malpraktik pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :9

1. Cara langsung

Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :

a. Duty (kewajiban)

Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan haruslah bertindak berdasarkan :

1) Adanya indikasi medis

2) Bertindak secara hati-hati dan teliti

3) Bekerja sesuai standar profesi

4) Sudah ada informed consent.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka tenagaperawatan tersebut dapat dipersalahkan.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

d. Damage (kerugian)

Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab(causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).9,10

2. Cara tidak langsung

Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquiturdapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:9

a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai

b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.Misalnya ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut terpotong jari pasien tersebut. Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:9

1. Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.

2. Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat.

3. Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.8


Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan lain-lain.8


DASAR PENIADAAN KELALAIAN MEDIS

Hukum Pidana dan Penyelengara praktek kedokteran adalah dua hal yang amat erat keterkaitannya satu sama lain. Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga medis atau penyelenggara praktek kedokteran pada prinsipnya langsung bersinggungan dengan tubuh dan nyawa pasien sehingga dalam kesehariannya, penyelenggara praktek kedokteran amat akrab dengan ancaman pemidanaan. Seperti dalam hal tindakan operatif misalnya, tindakan tersebut amat erat kaitannnya dengan tindak pidana penganiyaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 351 KUHP. Bagai suatu paradoks, disatu sisi penyelenggaran praktek kedokteran kerap berusaha untuk menyelamatkan nyawa pasien namun disisi lain senantiasa terancam suatu pemidanaan.11


Terkait dengan hal tersebut, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal adanya alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) dimana seseorang yang pada dasarnya memenuhui seluruh rumusan tindak pidana namun terhadapnya tidak dapat dijatuhkan pidana. Namun, dalam ketentuan-ketentuannya, Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengatur dasar peniadaan hukuman pidana terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh Penyelanggara Praktek Kedokteran atau Tenaga Medis.11


Menurut Veronica Komalawati, tindakan atau perbuatan dokter sebagai subjek hukum dalam pergaulan masyarakat dapat dibedakan antara tindakan sehari-hari yang tidak berkaitan dengan profesinya. Demikian juga tanggung jawab hukum dokter dapat dibedakan antara tanggung jawab hukum dokter yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesinya dan tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan profesinya. Tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya masih dapat dibedakan antara tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan professional, yaitu Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434/Men.Kes/SK/X/1983 dan tanggung jawab terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang meliputi bidang hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata.12


Beberapa dasar peniadaan hukuman yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP, berlaku pula hukum kedokteran, yaitu :

- Pasal 44 (sakit jiwa)

- Pasal 48 (adanya unsur daya paksa/overmacht)

- Pasal 49 (pembelaan diri terpaksa)

- Pasal 50 (melaksanakan ketentuan Undang-Undang)

- Pasal 51 (melaksanakan perintah jabatan sah)13

Selain itu, dikenal pula beberapa keadaan sebagai dasar peniadaan hukuman di luar Undang-Undang tertulis tersebut, yaitu :

  1. Tidak ada hukuman walaupun memenuhi semua unsur delik, karena hilangnya sifat bertentangan dengan hukum material.
  2. Tidak ada hukuman karena tidak adanya kesalahan.13


Secara umum dikatakan bahwa diluar keadaan-keadaan tersebut, tidak ada lagi dasar-dasar peniadaan hukuman. Namun untuk bidang kedokteran, ada faktor-faktor khusus yang tidak dijumpai pada hukum yang berlaku umum, misalnya kecelakaan medik (medical accident) atau resiko pengobatan (risk of treatment). 13


Guwandi menyusun sistematika untuk beberapa dasar peniadaan hukuman atau kesalahan khusus bidang medik, yaitu:

a. Risiko pengobatan (risk of treatment)

· Risiko yang inheren atau melekat

· Reaksi alergi

· Komplikasi dalam tubuh pasien

b. Kecelakaan medik (medical accident)

c. Kekeliruan penilaian klinis (Non-negligent error of judgement)

d. Volenti non fit iniura

e. Contributory negligence.13


Dalam suatu tindak medik tertentu, selalu ada risiko yang melekat pada tindak medik tersebut (inherent risk of treatment). Apabila dokter melakukan tindak medik tersebut dengan hati-hati, seizin pasien dan berdasarkan SPM (Standar Pelayanan Medik), tetapi ternyata risiko itu tetap terjadi, maka dokter itu tidak dapat dipersalahkan. Demikian pula bila terjadi reaksi alergi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya, seperti halnya juga komplikasi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya (misalnya terjadi emboli air ketuban pada suatu persalinan).13


Dalam penjelasan resmi atas pasal 44 UU praktik kedokteran ditentukan sebagai berikut.

  1. Yang dimaksud dengan "standar pelayanan" adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran.
  2. Yang dimaksud dengan "strata sarana pelayanan" adalah tingkatan pelayanan yang standar tenaga dan peralatannya sesuai dengan kemampuan yang diberikan.12


Dalam buku standar pelayanan medis dijelaskan bahwa profesi kedokteran adalah bidang pekerjaan yang mempunyai ciri utama keahlian profesi, tanggung jawab, dan kesejawatan. Dalam menjalankan praktik profesinya, dua hal pokok yang mendasari perilakunya adalah berbuat demi kebaikan pasien (doing good) dan tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, dan merugikan pasien (primum non nocere).14


Sikap dan tindakan yang wajib dilaksanakan oleh dokter diatur dalam berbagai standar. Setidaknya profesi memiliki 3 macam standar, yaitu:

1. Standar kompetensi: standar kompetensi adalah yang biasa disebut sebagai standar profesi

2. Standar perilaku: standar berperilaku diuraikan dalam sumpah dokter, etik kedokteran dan standar perilaku IDI.

3. Standar pelayanan: dalam bertindak di suatu sarana kesehatan tertentu, dokter diberi rambu-rambu sebagaimana diatur dalam standar prosedur operasi sarana kesehatan tersebut.15


Dalam hal terjadinya kecelakaan medik (medical accident), perlu direnungkan ucapan seorang hakim yang mengadili suatu perkara demikian, yaitu "Kita memang mensyaratkan bahwa seorang dokter harus bertindak hati-hati pada setiap tindakan yang dilakukan. Namun kita tidak dapat mencap begitu saja sebagai tindakan kelalaian terhadap sesuatu yang sebenarnya adalah suatu kecelakaan".13


Tentang kekeliruan penilaian klinis pun sebenarnya juga dapat dipahami karena bagaimanapun sebagai seorang manusia dokter tidak dapat lepas dari kemungkinan melakukan kesalahan. Suatu adagium dalam hukum yang terkenal berbunyi errare humanum est (kesalahan adalah manusiawi), agaknya perlu direnungkan. Suatu teori respectable minority rule yang menyebutkan bahwa seorang dokter tidak dianggap berbuat lalai apabila ia memilih salah satu dari sekian banyak cara pengobatan yang diakui oleh dunia kedokteran.13


Lord Denning menyatakan tentang kesalahan penilaian klinis, yakni "apabila seorang dokter dianggap bertanggung jawab apabila terjadi sesuatu atau bila tidak berhasil menyembuhkan, maka hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Pada seorang professional, suatu kesalahan dalam pertimbangan atau (error of judgement) bukanlah kelalaian. Mungkin pertimbangannya telah keliru, tetapi ia atau dokter lain pun tidak mungkin akan selalu benar". Ucapan hakim inilah yang kemudian dapat mengurangi akibat-akibat tuntutan yang berlebihan terhadap para dokter di Amerika Serikat pada era krisis malpraktik.13


Doktrin Volenti non fit iniura didasarkan pada pandangan bahwa bila seseorang telah mengetahui adanya suatu risiko dan secara sukarela bersedia menanggung resiko tersebut, jika kemudian risiko itu benar-benar terjadi maka tidak lagi dapat menuntut (He who willingly undertakes a risk after wards complain). Contoh nyata dari Dokrin ini adalah dalam bidang olah raga yang mempunyai risiko tinggi, seperti tinju, sepak bola, beladiri. Dalam dunia medik dapat terjadi misalnya untuk pencangkokan ginjal dari donor hidup, dengan risiko tinggi terdapat pada penerima maupun donor ginjal itu. Jika risiko itu benar-benar terjadi, berdasarkan doktrin ini tentu saja tidak mungkin dilimpahkan tanggung jawabnya kepada dokter yang merawat.13


Sedangkan istilah Contributory negligence secara umum digunakan untuk sikap-tindak yang tidak wajar dari pihak pasien, yang mengakibatkan kerugian atau cedera pada diririnya, tanpa memandang apakah pada pihak dokter terdapat pula kelalaian atau tidak. Sikap-tindak yang demikian ini, sengaja ataupun tidak sengaja dapat merupakan dasar peniadaan hukuman pada pihak dokter. Contoh yang palling jelas adalah tidak ditaatinya nasihat dokter dalam suatu perawatan atau pengobatan.13


Adanya Dasar Peniadaan Hukuman tersebut tidak berarti kemudian dokter dapat bertindak menyimpang dari SPM dan informed consent. Keadaan-keadaan tersebut tetap tidak memberikan hak kepada dokter untuk bertindak menyimpang dari SPM dan informed consent. Maka jelaslah bahwa pemenuhan terhadap SPM daninformed consent merupakan satu-satunya ketentuan dasar untuk meniadakan sifat bertentangan dengan hukum dari suatu tindak medik.13


Di luar profesi kedokteran, maka untuk menentukan adanya kekhilafan yang selanjutnya mengakibatkan luka atau matinya seseorang, tidaklah rumit untuk membuktikannya. Akan tetapi bila yang demikian itu kita alamatkan kepada dokter dengan keprofesiannya bukanlah sesuatu yang sederhana.13


Menurut Bambang Poernomo,S.H. (sekarang Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dalam bukunya 'Asas-asas Hukum Pidana', terbitan Ghalia Indonesia halaman 132 menyebutkan: "Bahwa seseorang melakukan perbuatan yang bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang pidana sebagai perbuatan pidana , belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya."16


Untuk dapat mempidana seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana dan perbuatan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan hakim terhadap tertuduh yang dituntut.16


ASPEK MEDIKOLEGAL

Bocah laki-laki meninggal setelah menjalani operasi usus buntu di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor, Jawa Barat, belum lama ini. Diduga pasien bernama Farid Maulana ini meninggal akibat kasus malapraktik. Kematian Farid membuat orangtua korban, Rita Ernita shock. Rita mengaku menyesal membawa anaknya berobat ke RSUD Cibinong. Menurut Rita, setelah dioperasi, perut anaknya yang berusia 10 tahun makin membesar akibat kelebihan cairan hingga akhirnya meninggal.11


Namun pihak rumah sakit membantah telah melakukan kelalaian dalam merawat hingga akhirnya korban mengembuskan napas terakhir. Kepala Bidang Pelayanan RSUD Cibinong Wahyu Kurdijanti mengatakan, perawatan sudah dilakukan sesuai prosedur. Kasus dugaan malapraktik di RSUD Cibinong bukan pertama kali terjadi. Dua pekan lalu bocah bernama Ikhsan Akbar meninggal usai operasi amandel di rumah sakit ini.11


Dalam Kasus terlampir dimana digambarkan bahwa penyelenggara Praktek Kedokteran atau tenaga medis RSUD CIBINONG melakukan tindakan operatif pada usus buntu, Farid yang mana berdasarkan fakta disebutkan bahwa korban kemudian meninggal dunia, tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam KUHP bilamana sebelum dilakukannya tindakan medis tersebut, telah terlebih dahulu dilakukan Informed Consent.11


Sifat Melawan hukum yang melekat pada tindakan Dokter/tenaga medis RSUD Cibinong tersebut ditiadakan atau dengan kata lain terhadap tindakannya telah dikenakan dasar pembenar. Memang pada dasarnya dengan dilakukannya Informed consent maka sifat melawan hukumnya dihapuskan, namun terhadap tindakan tersebut juga harus dilihat apakah terhadap tindakan tersebut kemudian melekat unsur malapraktek atau tidak.11


Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan pidana, meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi , tidak dapat dijatuhkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam :

1. Alasan penghapus pidana umum. Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku umum untuk setiap tindak pidana dan disebut dalam pasal 44, 48 - 51 KUHP

2. Alasan penghapus pidana khusus. Adalah alasan penghapus pidana yang berlaku hanya untuk tindak pidana tertentu. Misalnya pasal 122, 221 ayat (2), 261, 310, dan 367 ayat (1) KUHP. Sesuai dengan ajaran daad-dader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :

a) Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.

b) Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.11


Selain dikenal adanya dasar penghapus pidana dalam undang-undang maka dikenal pula dasar penghapus pidana diluar Undang-undang. Seperti Misalnya hak mendidik dari orang tua, izin dari orang yang dirugikan (persetujuan), hak jabatan dari dokter, penghapus pidana putative, peniadaan sifat melawan hukum dalam Arti Materiil maupun tiada kesalahan dalam arti materiil (Afwezigheid Van Alle Schuld). Terkait dengan Tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, amatlah erat kaitannya dengan persetujuan sebagai salah satu bentuk dasar penghapus pidana diluar undang-undang. Terhadap tindakan yang didasari persetujuan maka sifat melawan hukum yang terdapat dalam perbuatan tersebut dihilangkan. Hal ini sesuai dengan adagium Volenti non fit iniura atau, nulla iniura est, quae in volentem fiat (terhadap siapa yang memberikan persetujuan, satu tindakan akan menghasilkan ketidakadilan). Selain itu Jan Remellink menyebutkan bahwa Tindakan penyelamatan dapat dipandang sebagai suatu korperverletzung, namun akan dibenarkan atau dilegetimasikan oleh persetujuan dari pasien. Dalam Praktek kedokteran, sifat dapat dipidanannya suatu tindakan medis akan hilang bilamana tindakan tersebut dilakukan dalam konteks profesi atau pekerjaan serta tindakan tersebut telah didasarkan atas persetujuan (Informed Consent). Sebagaimana yurisprudensi dalam kasus “Natanson V. Klien tahun 1960“ dimana yurisprudensi tersebut menyatakan “persetujuan (Informed Consent)” merupakan peniadaan pidana.11


Suatu tindakan medis yang dilakukan dengan suatu keahlian tingkat tinggi dan dilakukan sebagai upaya penyelamatan yang mutlak perlu pun akan tetap dianggap sebagai tindak pidana penganiayaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 351 KUHP bilamana tanpa didasari atas Informed Consent.11


Informed consent dapat didefinisikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh pasien dan atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya serta resiko yang berkaitan dengannya yang mana memenuhi unsur, keterbukaan informasi yang cukup diberikan oleh dokter, kompetensi pasien dalam memberikan persetujuan, kesukarelaan (tanpa paksaan atau tekanan) dalam memberikan persetujuan.11


Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :

1. Persetujuan Tertulis, yang mana dilakukan terhadap tindakan-tindakan medis yang dapat menimbulkan resiko yang cukup besar.

2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi.

3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya dalam hal seorang pasien akan diambil darahnya dan yang bersangkutan serta merta menyodorkan lengannya.11


PENUTUP

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu : malfeasance, misfeasance dan nonfeasance.

Fungsi hukum yang menonjol juga berlaku dalam hukum kedokteran, yaitu Kepastian Hukum dan Perlindungan Hukum, bagi semua pihak yang terlibat dalam hubungan hukum dokter – pasien itu.


Bahwa Pada dasarnya tindakan medis yang bersifat operatif dan invasif seperti misalnya Injeksi, operasi dll, yang dilakukan oleh tenaga medis atau pihak penyelenggara Praktek Kedokteran tersebut pada dasarnya merupakan suatu tindakan yang memenuhi unsur pasal tindak pidana namun sifat melawan hukum pada tindakan tersebut dapat dihapuskan atau ditiadakan bilamana sebelum tindakan tersebut dilakukan telah terlebih dahulu diadakan suatu persetujuan (Informed Consent) dari pasien.


Suatu tindakan medis yang dilakukan dengan suatu keahlian tingkat tinggi dan dilakukan sebagai upaya penyelamatan yang mutlak perlu pun akan tetap dianggap sebagai tindak pidana penganiayaan sebagaimana ditentukan dalam pasal 351 KUHP bilamana tanpa didasari atas Informed Consent.


Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan pidana, meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi , tidak dapat dijatuhkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi.


Adanya Dasar Peniadaan Hukuman tersebut tidak berarti kemudian dokter dapat bertindak menyimpang dari SPM dan informed consent. Keadaan-keadaan tersebut tetap tidak memberikan hak kepada dokter untuk bertindak menyimpang dari SPM dan informed consent. Maka jelaslah bahwa pemenuhan terhadap SPM daninformed consent merupakan satu-satunya ketentuan dasar untuk meniadakan sifat bertentangan dengan hukum dari suatu tindak medik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Hamzah P, Amir. 2007. Tinjauan regulasi dan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan 2007. [12 screens] Cited 1 April 2009. Available from:http://www.idionline.org/kategori/info_idi/105 - 66

2. Prakoso, Djoko, S.H. Murtika, I Ketut, S.H. Editor: Aspek Hukum Profesi Kedokteran. Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman.Jakarta: PT. Rineka Cipta; 1992. p 100-01.

3. Etika Kedokteran Indonesia dan Penanganan Pelanggaran Etika di Indonesia. Budi Sampurna. [online] 2007 [cited 2009 April 03]; [1 screens]. Available fromURL:http//www.freewebs.com/etikakedokteranindonesia/index.htm

4. [ELS]:Kasus Medical Ethic Seperti Buah Simalakama. Dirwan Suryo Soularto. [online] 2008 November 17 [cited 2009 April 16]; [1 screens]. Available from URL:http://www.els.fk.umy.ac.id/

5. Kesalahan Diagnosis Dokter: Tergolong Malpraktek atau Kelalaian Medik-kah? M.Y.P. Ardianingtyas SH LLM(*) dan Dr.Charles M. Tampubolon(**)
[online] 2004 April 17 [cited 2009 April 16]; [1 screen]. Available from URL:http//www.hukumpedia.com/

6. Kelalaian Medik. Budi Sampurna. [online] 2007 [cited 2009 April 16]; [1 screens]. Available fromURL:http//www.freewebs.com/kelalaianmedik/unsur-unsurkelalaian.htm

7. Guwandi. Dokter, Pasien, dan Hukum. 1997. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. P.53-62

8. Malpraktik Kedokteran. Budi Sampurna [online] 2008 [cited 2009 April 17]; [1 screen]. Available fromURL:http://www.freewebs.com/malprakte/index.htm

9. Kasimin. Malpraktek tenaga keperawatan. [21 screens] Cited 1 April 2009. Available from: http://www.els.fk.umy.ac.id/file.php/1/moddata/forum/171/23650/HUKES.pdf


10. Isnoviana Meivy. Malpraktek. [11 screens] Cited 1 April 2009. Available from :http://www.cdc.fk.ui.ac.id/_UPLOAD_/_ARTICLE_/Pemaparan%20tentang%20UUPK%20&%20Malpraktik.pdf


11. Peniadaan Hukum Pidana [online] 2008 Agustus 07 [cited 2009 April 03]; [1 screens]. Available fromURL:http//raja1987.blogspot.com/2008/08/07/peniadaan-hukum-pidana.html


12. Wahyudi, Setiyono. Setyorini Yuyut, dan Basuki, Indro. Editor: Malpraktik Medis. Dalam: Ohoiwutun, Triana, S.H., M.H. Bunga Rampai Hukum Kedokteran. Malang: Bayumedia Publishing; 2008. p 48-49.


13. Achadiat Chrisdiono M. Editor: Dasar-dasar Peniadaan Hukuman dalam Hukum Kedokteran. Dinamika Etika Dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC; 2007. p. 68-71.

14. Membedah Malpraktik dan Kedokteran. Islami Rusdianawati [online] 2008 September 09 [cited 2009 April 17]; [1 screen]. Available from URL:http//www.kompas.com/teknologi/index.htm

15. Kelalaian Medik. Budi Sampurna. [online] 2007 [cited 2009 April 16]; [1 screens]. Available fromURL:http//www.freewebs.com/kelalaianmedik /pembuktian.htm

16. Waluyadi, editor: Aspek Pidana. Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran. Jakarta: Djambatan; 2005. p. 119-20.



0 comments:

Post a Comment


ShoutMix chat widget