Blog Archive
Haid dan Permasalahannya (2)

Banyak penyebab kenapa siklus haid menjadi panjang atau sebaliknya, pendek. Namun, penanganan kasus dengan siklus haid yang tidak normal, tak berdasarkan kepada panjang atau pendeknya sebuah siklus haid, melainkan berdasarkan kelainan yang dijumpai. Penanganan dilakukan oleh dokter berdasarkan penyebabnya.
1. Fungsi Hormon Terganggu.
Haid terkait erat dengan sistem hormon yang diatur di otak, tepatnya di kelenjar hipofisa. Sistem hormonal ini akan mengirim sinyal ke indung telur untuk memproduksi sel telur. Bila sistem pengaturan ini terganggu, otomatis siklus haid pun akan terganggu.
2. Kelainan Sistemik.
Ada ibu yang tubuhnya sangat gemuk atau kurus. Hal ini bisa memengaruhi siklus haidnya karena sistem metabolisme di dalam tubuhnya tak bekerja dengan baik. Atau ibu menderita penyakit diabetes, juga akan memengaruhi sistem metabolisme ibu sehingga siklus haidnya pun tak teratur.
3. Stress.
Stress jangan dianggap enteng sebab akan mengganggu sistem metabolisme di dalam tubuh. Bisa saja karena stres, si ibu jadi mudah lelah, berat badan turun drastis, bahkan sakit-sakitan, sehingga metabolismenya terganggu. Bila metabolisme terganggu, siklus haid pun ikut terganggu.
4. Kelenjar Gondok .
Terganggunya fungsi kelenjar gondok/tiroid juga bisa menjadi penyebab tak teraturnya siklus haid. Gangguan bisa berupa produksi kelenjar gondok yang terlalu tinggi (hipertiroid) maupun terlalu rendah (hipotiroid). Pasalnya, sistem hormonal tubuh ikut terganggu.
5. Hormon Prolaktin Berlebihan .
Pada ibu menyusui, produksi hormon prolaktinnya cukup tinggi. Hormon prolaktin ini sering kali membuat ibu tak kunjung haid karena memang hormon ini menekan tingkat kesuburan ibu. Pada kasus ini tak masalah, justru sangat baik untuk memberikan kesempatan pada ibu guna memelihara organ reproduksinya. Sebaliknya, jika tidak sedang menyusui, hormon prolaktin juga bisa tinggi, biasanya disebabkan kelainan pada kelenjar hipofisis yang terletak di dalam kepala.
Klasifikasi
Gangguan haid dan siklusnya dalam masa reproduksi dapat digolongkan dalam:
1. Kelainan siklus : Amenorrhea, Oligomenorrhea, Polymenorrhea
2. Kelainan dalam banyaknya darah dan lamanya perdarahan pada haid: Hipermenorrhea atau menoragia dan Hipomenorrhea
3. Perdarahan di luar haid : Metroragia
4. Gangguan lain yang ada hubungannya dengan haid : dysmenorrhea, Pre Menstrual Syndrome (PMS), Mastodinia/Mastalgia dan Mittelschmerz
1. Kelainan Siklus
a). Amenorrhea (amenore)
Amenorea adalah keadaaan tidak terjadinya menstruasi pada seorang wanita. Hal tersebut normal terjadi pada masa sebelum pubertas, kehamilan dan menyusui, dan setelah menopause. Siklus menstruasi normal meliputi interaksi antara komplek hipotalamus-hipofisi-aksis indung telur serta organ reproduksi yang sehat.
Amenore terbagi menjadi 2 :
- Amenore primer
Terlahir dengan organ genital atau panggul yang terbentuk tidak sempurna (tidak memiliki rahim atau vagina, septum vagina, stenosis serviks, atau selaput dara imperforata) dapat menyebabkan amenore primer.
Hormon memainkan peran besar dalam siklus menstruasi wanita. Masalah hormon dapat terjadi ketika:
> perubahan terjadi pada bagian-bagian otak di mana hormon-hormon yang membantu mengelola siklus menstruasi diproduksi
> ovarium tidak bekerja dengan benar
Masalah-masalah ini mungkin karena:
> cacat genetik
> infeksi yang terjadi dalam rahim atau setelah kelahiran
> cacat lahir lainnya
> tumor
Beberapa kondisi yang berhubungan dengan amenore primer :
- Sindrom adrenogenital
- Anoreksia
- Sindrom Turner
- Penyakit Cushing
- Obesitas
Pemeriksaan Penunjang
Pada amenorea primer, apabila didapatkan adanya perkembangan seksual sekunder maka diperlukan pemeriksaan organ dalam reproduksi (indung telur, rahim, perlekatan dalam rahim) melalui pemeriksaan USG, histerosalpingografi, histeroskopi, dan Magnetic Resonance Imaging(MRI). Apabila tidak didapatkan tanda-tanda perkembangan seksualitas sekunder maka diperlukan pemeriksaan kadar hormon FSH dan LH.
- Amenore sekunder
Amenore sekunder terjadi ketika seorang wanita yang telah mengalami siklus menstruasi normal kemudian berhenti mendapatkan menstruasinya selama 6 bulan atau lebih.
Penyebab terbanyak dari amenorea sekunder adalah kehamilan, setelah kehamilan, menyusui, dan penggunaan metode kontrasepsi. Jika sebab-sebab tersebut bisa disingkirkan, maka penyebab lainnya adalah:
- Obat-obatan
- Stress dan depresi
- Nutrisi yang kurang, penurunan berat badan berlebihan, olahraga berlebihan, obesitas
- Gangguan hipotalamus dan hipofisis
- Gangguan indung telur
- Penyakit kronik
Terapi
Pengobatan yang dilakukan sesuai dengan penyebab dari amenorea yang dialami, apabila penyebabnya adalah obesitas, maka diet dan olahraga adalah terapinya. Belajar untuk mengatasi stress dan menurunkan aktivitas fisik yang berlebih juga dapat membantu. Terapi amenorea diklasifikasikan berdasarkan penyebab saluran reproduksi atas dan bawah, penyebab indung telur, dan penyebab susunan saraf pusat.
A. Saluran reproduksi :
1. Aglutinasi labia (penggumpalan bibir labia) yang dapat diterapi dengan krim estrogen
2. Kelainan bawaan dari vagina, hymen imperforata (selaput dara tidak memiliki lubang), septa vagina (vagina memiliki pembatas diantaranya). Diterapi dengan insisi atau eksisi (operasi kecil)
3. Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser. Sindrom ini terjadi pada wanita yang memiliki indung telur normal namun tidak memiliki rahim dan vagina atau memiliki keduanya namun kecil atau mengerut. Pemeriksaan dengan MRI atau ultrasonografi (USG) dapat membantu melihat kelainan ini. Terapi yang dilakukan berupa terapi non-bedah berupa dilatasi (pelebaran) dari tonjolan di tempat seharusnya vagina berada atau terapi bedah dengan membuat vagina baru menggunakan skin graft
4. Sindrom feminisasi testis. Terjadi pada pasien dengan kromosom 46, XY kariotipe, dan memiliki dominan X-linked sehingga menyebabkan gangguan dari hormon testosteron. Pasien ini memiliki testis dengan fungsi normal tanpa organ dalam reproduksi wanita (indung telur, rahim). Secara fisik bervariasi dari wanita tanpa pertumbuhan rambut ketiak dan pubis sampai penampakan seperti layaknya pria namun infertil (tidak dapat memiliki anak)
5. Parut pada rahim. Parut pada endometrium (lapisan rahim) atau perlekatan intrauterine (dalam rahim) yang disebut sebagai sindrom Asherman dapat terjadi karena tindakan kuret, operasi sesar, miomektomi (operasi pengambilan mioma rahim), atau tuberkulosis. Kelainan ini dapat dilihat dengan histerosalpingografi (melihat rahim dengan menggunakan foto roentgen dengan kontras). Terapi yang dilakukan mencakup operasi pengambilan jaringan parut. Pemberian dosis estrogen setelah operasi terkadang diberikan untuk optimalisasi penyembuhan lapisan dalam rahim
B. Gangguan Indung Telur
1. Disgenesis gonadal. Disgenesis gonadal adalah tidak terdapatnya sel telur dengan indung telur yang digantikan oleh jaringan parut. Terapi yang dilakukan dengan terapi penggantian hormon pertumbuhan dan hormon seksual
2. Kegagalan Ovari Prematur. Kelaianan ini merupakan kegagalan dari fungsi indung telur sebelum usia 40 tahun. Penyebabnya diperkirakan kerusakan sel telur akibat infeksi atau proses autoimun
3. Tumor ovarium. Tumor indung telur dapat mengganggu fungsi sel telur normal
C. Gangguan Susunan Saraf Pusat
1. Gangguan hipofisis. Tumor atau peradangan pada hipofisis dapat mengakibatkan amenorea. Hiperprolaktinemia (hormone prolaktin berlebih) akibat tumor, obat, atau kelainan lain dapat mengakibatkan gangguan pengeluaran hormon gonadotropin. Terapi dengan menggunakan agonis dopamin dapat menormalkan kadar prolaktin dalam tubuh. Sindrom Sheehan adalan tidak efisiennya fungsi hipofisis. Pengobatan berupa penggantian hormon agonis dopamin atau terapi bedah berupa pengangkatan tumor
2. Gangguan hipotalamus. Sindrom polikistik ovari, gangguan fungsi tiroid, dan Sindrom Cushing merupakan kelainan yang menyebabkan gangguan hipotalamus. Pengobatan sesuai dengan penyebabnya
3. Hipogonadotropik, hipogonadism. Penyebabnya adalah kelainan organik dan kelainan fungsional (anoreksia nervosa atau bulimia). Pengobatan untuk kelainan fungsional membutuhkan bantuan psikiater.
Pencegahan tergantung pada penyebabnya. Misalnya, melakukan olahraga yang ringan bukan olahraga yang ekstrim, mengontrol berat badan, dan langkah-langkah lain yang dapat membantu.
Prognosis tergantung pada penyebab amenore. Sebagian besar kondisi yang menyebabkan amenore sekunder memberikan respon yang baik saat pengobatan.
b). Oligomenorrhea (oligomenore)
Oligomenorea merupakan suatu keadaan dimana siklus haid memanjang lebih dari 35 hari, sedangkan jumlah perdarahan tetap sama. Wanita yang mengalami oligomenorea akan mengalami haid yang lebih jarang daripada biasanya. Namun, jika berhentinya siklus haid berlangsung lebih dari 3 bulan, maka kondisi tersebut dikenal sebagai amenorea sekunder.
Penyebab
Oligomenorea biasanya terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan hormonal pada aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium. Gangguan hormon tersebut menyebabkan lamanya siklus haid normal menjadi memanjang, sehingga haid menjadi lebih jarang terjadi. Oligomenorea sering terjadi pada 3-5 tahun pertama setelah haid pertama ataupun beberapa tahun menjelang terjadinya menopause. Oligomenorea yang terjadi pada masa-masa itu merupakan variasi normal yang terjadi karena kurang baiknya koordinasi antara hipotalamus, hipofisis dan ovarium pada awal terjadinya haid pertama dan menjelang terjadinya menopause, sehingga timbul gangguan keseimbangan hormon dalam tubuh. Disamping itu, oligomenorea dapat juga terjadi pada:
o Gangguan indung telur, misal : Sindrome Polikistik Ovarium (PCOS)
o Stres dan depresi
o Sakit kronik
o Pasien dengan gangguan makan (seperti anorexia nervosa, bulimia)
o Penurunan berat badan berlebihan
o Olahraga berlebihan, misal atlit
o Adanya tumor yang melepaskan estrogen
o Adanya kelainan pada struktur rahim atau serviks yang menghambat pengeluaran darah haid
o Penggunaan obat-obatan tertentu
Umumnya oligomenorea tidak menyebabkan masalah, namun pada beberapa kasus, dapat menyebabkan gangguan kesuburan. Pemeriksaan ke dokter kandungan harus dilakukan ketika oligomenorea berlangsung lebih dari 3 bulan dan mulai menimbulkan gangguan kesuburan.
c). Polymenorrhea (polimenore)
Ketika seorang wanita mengalami siklus haid yang lebih sering (siklus haid yang lebih singkat dari 21 hari), hal ini dikenal dengan istilah polimenorea. Wanita dengan polimenorea akan mengalami haid hingga dua kali atau lebih dalam sebulan, dengan pola yang teratur dan jumlah perdarahan yang relatif sama atau lebih banyak dari biasanya.
Polimenorea harus dapat dibedakan dari metroragia. Metroragia merupakan suatu perdarahan iregular yang terjadi di antara dua waktu haid. Pada metroragia, haid terjadi dalam waktu yang lebih singkat dengan darah yang dikeluarkan lebih sedikit.
Penyebab
Timbulnya haid yang lebih sering ini tentunya akan menimbulkan kekhawatiran pada wanita yang mengalaminya. Polimenorea dapat terjadi akibat adanya ketidakseimbangan sistem hormonal pada aksis hipotalamus-hipofisis-ovarium.
Ketidak seimbangan hormon tersebut dapat mengakibatkan gangguan pada proses ovulasi (pelepasan sel telur) atau memendeknya waktu yang dibutuhkan untuk berlangsungnya suatu siklus haid normal sehingga didapatkan haid yang lebih sering. Gangguan keseimbangan hormon dapat terjadi pada:
- 3-5 tahun pertama setelah haid pertama
- Beberapa tahun menjelang menopause
- Gangguan indung telur
- Stress dan depresi
- Pasien dengan gangguan makan (seperti anorexia nervosa, bulimia)
- Penurunan berat badan berlebihan
- Obesitas
- Olahraga berlebihan, misal atlit
- Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti antikoagulan, aspirin, NSAID, dll
Pada umumnya, polimenorea bersifat sementara dan dapat sembuh dengan sendirinya. Penderita polimenorea harus segera dibawa ke dokter jika polimenorea berlangsung terus menerus. Polimenorea yang berlangsung terus menerus dapat menimbulkan gangguan hemodinamik tubuh akibat darah yang keluar terus menerus. Disamping itu, polimenorea dapat juga akan menimbulkan keluhan berupa gangguan kesuburan karena gangguan hormonal pada polimenorea mengakibatkan gangguan ovulasi (proses pelepasan sel telur). Wanita dengan gangguan ovulasi seringkali mengalami kesulitan mendapatkan keturunan.
Gangguan Lain yang Ada Hubungannya dengan Haid :
a). Dysmenorrhea (dismenore/nyeri saat menstruasi).
Dismenore terjadi pada 30-75 %wanita dan memerlukan pengobatan. Etiologi dan patogenesis dari dismenore sampai sekarang belum jelas.
Klasifikasi :
1. Dismenore Primer (dismenore sejati, intrinsik, esensial ataupun fungsional); adalah nyeri haid yang terjadi sejak menstruasi dan tidak terdapat kelainan pada alat kandungan.
Penyebab : psikis (konstitusionil : anemia, kelelahan, TBC); obstetric (serviks sempit, hyperante flexio, retroflexio); endokrin (peningkatan kadar prostaglandin, hormon steroid seks, kadar vasopresin tinggi).
Etiologi : nyeri haid dari bagian perut menjalar ke daerah pinggang dan paha, terkadang disertai dengan mual dan muntah, diare, sakit kepala dan emosi labil.
Terapi : psikoterapi, analgetika, hormonal.
2. Dismenore Sekunder; terjadi pada wanita yang sebelumnya tidak mengalami dismenore. Hal ini terjadi pada kasus infeksi, mioma submucosa, polip corpus uteri, endometriosis, retroflexio uteri fixata, gynatresi, stenosiskanalis servikalis, adanya AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), tumor ovarium.
Terapi : causal (mencari dan menghilangkan penyebabnya).
Dalam referensi lain disebutkan :
Bagi sebagian wanita, menggunakan bantal pemanas atau berendam dengan air hangat dapat membantu meringankan rasa nyeri. Beberapa obat pain relief juga dapat membantu meringankan rasa nyeri, diantaranya :
- Ibuprofen (misalnya: Advil, Motrin, Midol Cramp)
- Ketoprofen (misalnya: Orudis KT)
- Naproxen (misalnya: Aleve)
b). Pre Menstrual Syndrome (PMS)
PMS (pre menstrual syndrome) atau gejala pre-menstruasi, dapat menyertai sebelum atau saat menstruasi, seperti :
- perasaan malas bergerak, badan menjadi lemas, serta mudah merasa lelah.
- nafsu makan meningkat dan suka makan makanan yang rasanya asam.
- emosi menjadi labil. Biasanya perempuan mudah uring-uringan, sensitif, dan perasaan negatif lainnya.
- mengalami kram perut (dismenore).
- kepala nyeri.
- pingsan.
- berat badan bertambah karena tubuh menyimpan air dalam jumlah yang banyak.
- pinggang terasa pegal.
Jika kita mengalami PMS, kita bisa melakukan hal-hal seperti di bawah ini:
- mengurangi makanan yang bergaram, seperti kentang goreng, kacang-kacangan dan makanan berbumbu, untuk mengurangi penahanan air berlebih.
- kurangi makanan yang berupa tepung, gula, kafein, dan coklat.
- tambahkan makanan yang mengandung kalsium dan vitamin C dosis tinggi, seminggu sebelum menstruasi.
- konsumsi makanan berserat dan perbanyak minum air putih.
Jika menstruasi cukup banyak mengeluarkan darah, perbanyak makan makanan atau suplemen yang mengandung zat besi agar terhindar dari anemia.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi sakit perut sewaktu menstruasi, yaitu:
- kompres dengan botol panas (hangat) pada bagian yang terasa kram (bisa di perut atau pinggang bagian belakang).
- mandi air hangat, boleh juga menggunakan aroma terapi untuk menenangkan diri.
- minum minuman hangat yang mengandung kalsium tinggi.
- mengosok-gosok perut atau pinggang yang sakit.
- ambil posisi menungging sehingga rahim tergantung ke bawah. Hal tersebut dapat membantu relaksasi.
- tarik nafas dalam-dalam secara perlahan untuk relaksasi.
- obat-obatan yang digunakan harus berdasarkan pengawasan dokter. Boleh minum analgetik (penghilang rasa sakit) yang banyak dijual di toko obat, asalkan dosisnya tidak lebih dari 3 kali sehari.
c). Mastodinia atau Mastalgia
rasa tegang pada payudara menjelang haid. Disebabkan oleh dominasi hormon estrogen, sehingga terjadi retensi air dan garam yang disertai hiperemia di daerah payudara.
d). Mittelschmerz (rasa nyeri pada ovulasi)
Rasa sakit yang timbul pada wanita saat ovulasi, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari di pertengahan siklus menstruasi. Hal ini terjadi karena pecahnya folikel de Graff. Lamanya bisa beberapa jam bahkan sampai 2-3 hari. Terkadang Mittelschmerz diikuti oleh perdarahan yang berasal dari proses ovulasi dengan gejala klinis seperti kehamilan ektopik yang pecah.
Sumber :
1. http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/125/amenorea
2. http://kliniksehat.com/index.php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=18
3. http://situs.assunnah.web.id/2011/04/24/macam-macam-gangguan-haid/
4. http://womenshealth.gov/publications/our-publications/fact-sheet/menstruation.cfm
5. http://www.scribd.com/doc/60040959/Gangguan-Lain-Yang-Ada-Hubungan-Dengan-Haid
6. http://www.dechacare.com/Gangguan-Menstruasi-I54.html
7. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001218.htm
EFEK PENGENCERAN 0.5% PROPOFOL TERHADAP NYERI PADA INJEKSI SEWAKTU INDUKSI ANASTESI PADA ANAK-ANAK

Latar Belakang: Nyeri sewaktu injeksi propofol pada anak-anak telah dilaporkan sebanyak 30-80%. Alasan terjadinya nyeri ini diperkirakan disebabkan oleh fase akuous pada emulsi propofol. Oleh karena itu, untuk pertama kalinya, studi ini menguji hipotesis tentang pengenceran propofol menjadi emulsi 0.5% yang mungkin dapat mengurangi insiden nyeri sewaktu injeksi porpofol.
Metode : Desain penelitian adalah prospektif, monocenter, double-blind dan random. 64 orang anak-anak berumur 2-6 tahun dijadwalkan mendapat 0.5% atau 1.0% propofol dalam emulsi trigliserida-rantai-sedang/trigliserida-rantai-panjang. Insiden dan intensitas nyeri dinilai dari eksperesi nyeri dan penarikan tangan yang spontan. Dalam sub-kelompok yang terdiri dari 21 orang anak-anak, level trigliserida serum diukur sebelum, 3 menit dan 20 menit setelah induksi. Kejadian buruk dicatat.
Hasil : Jumlah propofol yang diperlukan sehingga refleks bulu mata hilang adalah 4.40 ± 1.01 mg/kg untuk propofol 0.5% dan 4.31 ± 0.86 mg/kg untuk propofol 1.0%. Persentase anak-anak yang menunjukkan sekurang-kurangnya satu reaksi nyeri adalah 23.3% dalam kelompok propofol 0.5% dan 70.0% dalam kelompok propofol 1.0% (P < p =" 0.001" p =" 0.03).">
Kesimpulan : Pengenceran propofol menjadi emulsi trigliserida-rantai-sedang/trigliserida-rantai-panjang 0.5% dapat mengurangi nyeri secara efektif sewaktu injeksi pada anak-anak berumur 2 – 6 tahun. Dosis kumulatif hingga 4-5 mg/kg propofol menyebabkan kenaikan moderat level trigliserida dan tidak menyebabkan efek buruk yang signifikan.
NYERI sewaktu injeksi propofol pada anak-anak sering dilaporkan sebanyak 30-80% kejadian. Telah banyak percobaan dilakukan untuk mengurangi nyeri, seperti penambahan lidocaine atau thiopental, penggunaan emulsi trigliserida-rantai-sedang (MCT)/trigliserida-rantai-panjang (LCT) atau nitrous oksida, atau injeksi ketamin sebelum propofol. Tetapi, sejauh ini tidak ada dari metode ini yang berhasil mengeliminasi nyeri dengan komplit. Alasan untuk nyeri sewaktu injeksi diperkirakan adalah kosentrasi propofol dalam fase akuos pada emulsi itu. Propofol selalu didapati dalam konsentrasi propofol 1.0% dalam emulsi lipid yang mengandungi trigliserida 10%. Mengurangkan konsentrasi obat dengan mengencerkan lagi dengan emulsi lipid 10% menjadi konsentrasi propofol yang lebih rendah mungkin mengurangkan insiden dan beratnya nyeri sewaktu injeksi dengan mengurangkan konsentrasi propofol bebas dalam emulsi fase akuous. Tetapi, dengan pengenceran, memerlukan pemberian kuantitas emulsi lipid yang diperkirakan lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama dengan kosentrasi sebelumnya. Ini dapat menyebabkan hiperlipidemia. Oleh karena itu, studi ini terdiri dari dua bagian : Dalam bagian pertama, kami mengevaluasi propofol 1.0% dalam emulsi MCT/MLT 10% yang ada secara komersial (Propofol Lipuro®; B. Braun Melsungen AG, Melsungen, German) kemudian diencerkan lagi dengan formulasi MCT.MLT 10% hingga menjadi konsentrasi akhir propofol 0.5% dalam formulasi MCT/MLT 10% mengurangi insiden dan beratnya nyeri sewaktu injeksi dibandingkan dengan emulsi 1%. Dalam bagian kedua, kami mengukur jangka waktu trigliserida serum setelah injeksi emulsi MCT/MLT propofol yang berbeda dalam dua sub kelompok anak-anak (i.e., 21 orang pasien pertama) untuk mengesankan perbedaan antara kedua kelompok. Sebagai tambahan, perbedaan antara kedua kelompok ini dari segi jumlah propofol yang diperlukan, hemodinamik, saturasi oksigen, reaksi kulit lokal, dan kejadian buruk dicatat. Untuk penelitian, kami memilih emulsi MCT/MLT, karena studi sebelumnya menunjukkan pengurangan nyeri yang signifikan berbanding emulsi LCT.
Material dan Metode
Pasien dan Metode
Desain penelitian adalah prospektif, monosenter, double-blind, random, dan disetujui oleh komite etika lokal (Ethikkommission der Medizinischen Fakultät der Universität zu Köln, University Hospital of Cologne, Cologne, German). Enam puluh empat orang anak-anak berumur 2 – 6 tahun, yang dijadwalkan untuk menjalani operasi elektif rawat jalan urologi atau umum (e.g., operasi hernia inguinalis, sirkumsisi), dan sesuai untuk studi dimasukkan setelah mendapatkan inform konsen tertulis dari orangtua mereka. Pada hari operasi, anak-anak ditunjuk secara acak menurut jadwal alokasi komputerisasi pada dua kelompok yang menerima propofol 0.5% atau propofol 1.0% untuk induksi anastesi. Kriteria ekslusi adalah intolerabilitas terhadap obat yang diuji, baru mendapat pengobatan dengan efek sedatif, penyakit ginjal atau hepar, insuffiensi jantung, hipovolemi, aplikasi parentral emulsi lipid, status fisik American Society of Anesthesiologist III atau IV, berpartisipasi dengan percobaan klinis yang lain, nyeri kronik atau riwayat kejang. Propofol disediakan oleh B. Braun Melsungen AG (Melsungen, German). Dalam kelompok propofol 1.0%, diberikan propofol 1% yang ada secara komersial (Propofol-Lipuro®; B. Braun Melsungen AG) dalam emulsi MCT/MLT 10%. Dalam kelompok propofol 0.5%. propofol diencerkan oleh pabrik secara ekslusif untuk studi ini dengan emulsi MCT/LCT 10% yang sama menjadikan konsentrasi akhir propofol 0.5% dalam emulsi MCT/LCT 10%. Semua anak-anak mendapatkan campuran eutektik anastesi lokal (EMLA®; Astrazeneca GmbH, Wedel, German) di dorsum kedua tangan 2 jam sebelum waktu operasi yang dijadwalkan dan diberikan premedikasi midazolam (0.5 mg/kg) secara oral 15-45 menit sebelum induksi anastesi. Untuk semua anak-anak, digunakan vena di belakang tangan. Sewaktu preoksigenasi, diberikan remifentanil (0.25 µg · kg—1 · min—1) selama 1 menit dengan menggunakan pam infus. Kemudian, propofol 3 mg/kg diinjeksi dalam waktu 30 detik dengan menggunakan pam infus (Alaris Medical System, Baesweiler, German) untuk kedua kelompok. Kemudian, anak-anak dalam kelompok propofol 0.5% mendapatkan dosis propofol yang sama (3 mg/kg) tetapi dengan jumlah emulsi MCT/LCT dua kali lebih banyak berbanding dengan anak-anak dalam kelompok propofol 1.0%. Pam infus disiapkan oleh peneliti yang tidak terlibat dalam pemberian anastesi atau evaluasi hasil akhir variabel. Sewaktu penelitian, pam tersebut ditutupi untuk mencegah agar tidak mengaburkan peneliti yang mengevaluasi hasil akhir variabel. Satu peneliti menilai nyeri pada semua anak-anak dan peneliti kedua memberika anastesi dan mengevaluasi level sedasi. Menurut penilaiannya, dosis tambahan propofol 1.0 mg/kg (setiap 30 detik, diberikan dalam waktu 10 detik) dititrasi sehingga refleks bulu mata hilang. Setelah mencapai level sedasi yang memuaskan, dimasukkan laryngeal mask airway, dan anastesi dipertahankan dengan menggunakan remifentanil 0.25 µg · kg—1 · min—1 dan sevoflurane (kosentrasi minimal alveolar 0.5-1) dengan oksigen.
Penilaian Nyeri sewaktu Injeksi
Terdapat dua pendekatan estimasi nyeri yang digunakan oleh peneliti yang mengevaluasi nyeri secara serentak : (1) Sewaktu induksi, peneliti 1 memegang kedua tangan anak dan menilai percobaan anak untuk menarik kembali tangan yang diinfus dibandingkan dengan tangan yang sebelahnya. Percobaan ini diklasifikasikan seperti : 0 = tidak ada, 1 = lembut, 2 = sedang, 3 = kuat. (2) Intensitas ekspresi nyeri spontan diklasifikasikan seperti : 0 = tidak ada, 1 = meringis, 2 = menangis, 3 = menjerit.
Efektifitas, Level Trigliserida dan Kejadian Buruk
Pada 21 orang anak-anak pertama, sampel darah diambil sebelum induksi anastesia dari kanul intravena di belakang tangan. Setelah induksi anastesi, dua sampel darah tambahan diambil pada waktu 3 menit dan 20 menit setelah dosis terakhir propofol dari kateter vena yang dimasukkan di lengan sebelahnya. Trigliserida serum dianalisa dengan menggunakan tes trigliserida GPO-PAP (Roche, Basel, Switzerland). Dosis total propofol yang diberikan kepada setiap anak merupakan jumlah dosis bolus pertama dan kesemua dosis subsekuen. Saturasi oksigen, denyut jantung dan tekanan darah diobservasi selama penelitian dijalankan. Kejadian buruk seperti perlengketan tempat punksi, eritema, eksantema, sendawa, myoklonus, atau muntah dinilai dengan skala : 0 = minor, 1 = sedang, 2 = berat. Keputusan untuk terapi kejadian ini tergantung ahli anastesi yang hadir disitu, yang tidak mengetahui tentang penelitian obat ini.
Analisis Statistik
Analisis statistik dilakukan oleh Institut für Angewandte Statistik GmbH, Bielefeld, German. Data dibandingkan di dalam dan diantara 2 kelompok dengan uji t (parameter garis dasar hemodinamik, umur, berat badan, garis dasar nilai trigliserida), uji Mann-Whitney U (dosis propofol, tanda-tanda yang menunjukkan intensitas nyeri), uji mutlak Fisher (data binary), uji chi-square (jenis kelamin), dan analisis kovarians untuk semua pengukuran yang berulang (nilai trigliserida). Semua uji kaji dilakukan secara dua arah dengan level α = 0.05 dan 1 – β = 0.80 yang signifikan. Ukuran sampel ditentukan secara prospektif menurut kriteria berikut : Insiden kejadian nyeri diperkirakan 66% setelah propofol 1.0%; target adalah untuk mengurangkan insiden nyeri kepada setengah menjadi 33%. Oleh itu, ukuran sampel dihitung sebagai n = 29 untuk setiap kelompok (n = 32 dengan kadar dropout sekitar 10%).
Hasil
Karaktersitik Pasien dan Dropout
Enam puluh empat anak-anak dimasukkan dalam studi ini (32 orang dalam setiap kelompok). dalam kelompok propofol 0.5%, umur mean adalah 4.6 (± 1.3) tahun, berat badan mean adalah 18.3 (± 4.1) kg, dan tinggi badan mean adalah 107 (± 9) cm. Semua anak-anak adalah laki-laki. Dalam kelompok propofol 1.0%, umur mean adalah 4.2 (± 1.4) tahun, berat badan mean adalah 17.6 (± 4.0) kg, dan tinggi badan mean adalah 104 (± 10) cm. Dua anak-anak adalah perempuan. Karakteristik demografik dan garis dasar anak-anak tidak berbeda antara kedua kelompok. Pada 4 orang anak (2 dari setiap kelompok), percobaan harus diterminasi secara prematur setelah diacak karena akses vena di belakang tangan tidak memungkinkan. Pasien yang selebihnya menyelesaikan percobaan seperti yang dijadwalkan. Oleh itu, populasi studi terdiri dari 60 orang anak-anak.
Penilaian Nyeri
Keseluruhan insiden dan juga intensitas untuk menarik kembali lengan menurun secara signifikan dalam kelompok propofol 0.5% berbanding dengan kelompok propofol 1.0%. Menilai intensitas nyeri dengan menggunakan skala bertingkat eksperesi nonverbal, beratnya nyeri sewaktu injeksi berkurang secara signifikan pada kelompok propofol 0.5% berbanding kelompok 1.0% (P = 0.04). Tetapi insiden ekspresi nyeri secara spontan secara keseluruhan tidak berbeda antara kedua kelompok (P = 0.10). Keterangan diringkaskan dalam tabel 1.
Table 1. Nyeri pada saat injeksi
Propofol 0,5% (n=30) Propofol 1% (n=30) nilai P (test) |
Intensitas usaha untuk menarik <> kembali tangan Tidak ada 23 (76,7) 9 (30,0) Lembut 4 (13,3) 5 (16,7) Sedang 2 (6,7) 13 (43,3) Kuat 1 (3,3) 3 (10,0) Total kejadian 7 (23,3) 21 (70,0) <> Intensitas ekspresi nyeri spontan 0,04 (U test) Tidak ada 29 (96,7) 24 (80,0) Meringis 1 (3,3) 2 (6,7) Menangis - 4 (13,3) Menjerit - - Total kejadian 1 (3,3) 6 (20,0) 0,10 (Fisher) |
Efektifitas, Level Trigliserida, dan Kejadian Buruk
Jumlah propofol yang sama diperlukan dalam kedua kelompok untuk mencapai kehilangan refleks bulu mata (propofol 0.5% : 4.40 ± 1.01 mg/kg; propofol 1.0% : 4.31 ± 0.86 mg/kg). Walaupun garis dasar nilai trigliserida tidak berbeda antara kedua kelompok, ia meningkat secara signifikan dalam kelompok propofol 0.5% dibandingkan dengan kelompok propofol 1.0% pada waktu 3 menit dan 20 menit setelah diberikan propofol. Hasil ditunjukkan dalam gambar 1.
Gambar 1.
Nilai Trigliserida (mg/dl). *P < bawah =" persentil" vertikal =" persentil" kotak =" persentil" median =" persentil" kotak =" persentil" vertikal =" persentil" vertikal =" persentil" kotak =" mean.
Tidak ada eritema, wheal, atau reaksi kulit lain didapati setelah operasi di tempat punksi vena. Dua anak-anak dalam kelompok propofol 1.0% perlu dirawat postoperatif karena muntah. Setelah induksi, tekanan darah dan denyut jantung menurun dalam kedua kelompok tanpa memerlukan intervensi medis. Nilai absolut tekanan arteri mean tidak berbeda antara kedua kelompok. Tetapi, karena nilai garis dasar tekanan arteri mean dalam kelompok propofol 0.5% sedikit lebih tinggi, perbedaan T1 (langsung setelah bolus awal) – T0 (garis dasar) dan T2 (refleks bulu mata hilang) – T0 secara signifikan lebih tinggi dalam kelompok propofol 0.5% berbanding kelompok propofol 1.0% (P <>
Gambar 2.
Tekanan arteri rata-rata (mmHg ± SD). T0 = garis batas; T1 = segera setelah bolus initial; T2 = hilangnya refleks bulu mata; T3 = akhir dari anestesi; T1 – T0 = perbedaan antara tekanan arteri rata-rata pada T1 dan T0; T2 – T0 = perbedaan antara tekanan arteri rata-rata pada T2 dan T0.
*P <># P <>
Pembahasan
Penelitian prospektif dan double-blind ini menunjukkan penurunan signifikan intensitas nyeri pada anak-anak berumur 2 – 6 tahun setelah injeksi intravena propofol yang diencerkan dengan emulsi MCT/LCT 10% menjadi konsentrasi akhir 0.5% dibanding formulasi standar propofol 1.0% dalam emulsi MCT/LCT 10% yang sama. Penemuan ini mungkin penting untuk semua dokter yang memberi sedasi atau anastesi kepada anak-anak untuk berbagai prosedur klinis. Menurut produsen, emulsi propofol 0.5% yang digunakan dalam studi ini stabil pada suhu kamar, masih belum disetujui untuk penggunaan klinik, dan belum tersedia untuk penggunaan klinik (komunikasi personal dengan representatif kompeni, Tamara Dehnhardt, Agustus 2006).
Insiden nyeri sewaktu injeksi propofol telah dilaporkan berkisar dari 30% hingga 90% kejadian. Untuk memperbaiki situasi ini, banyak strategi yang berbeda telah dilakukan, termasuk penggunaan emulsi MCT/LCT menggantikan emulsi LCT, mengencerkan obat dengan glukosa, memberikan anastetik intravena sebelum atau secara bersamaan dengan propofol, menginjeksi lidocaine sebelumnya, atau mencampurkan lidocaine dengan propofol. Cara ini berhasil mengurangkan insiden nyeri sewaktu injeksi propofol menjadi sekitar 40%. Dalam studi ini, penggunaan propofol 0.5% menyebabkan insiden menjadi hanya sebanyak 23%.
Pengenceran propofol dengan cairan akuous sepertinya tidak mengurangkan nyeri sewaktu injeksi propofol. Oleh itu, jumlah lipid yang lebih tinggi mungkin alasan utama mengurangkan insiden nyeri dalam penelitian kami. Hasil yang kami dapatkan didukung oleh Doenicke dkk dan Klement dkk, melaporkan penurunan intensitas nyeri setelah injeksi propofol yang diencerkan dengan emulsi lipid pada pasien dewasa atau sukarelawan. Data dalam bentuk ringkasan ini mendukung kuat hipotesis bahawa jumlah propofol dalam emulsi fase akuous mungkin penyebab utama nyeri sewaktu injeksi.
Insiden dan beratnya nyeri sewaktu injeksi propofol MCT/LCT 1% dalam studi kami dapat dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang menggunakan emulsi MCT/LCT dan kriteria untuk menilai nyeri sewaktu injeksi seperti menarik kembali lengan dan eksperesi nyeri spontan. Dalam keterangannya, Schaud dkk melaporkan eksperesi nyeri sebanyak 47% dan penarikan kembali lengan sebanyak 24% pada 92 orang wanita dewasa yang diberikan propofol MCT/LCT 1%. Röhm dkk menemukan insiden nyeri sebanyak 53% sewaktu injeksi propofol MCT/LCT 1.0% dan tidak ada perbedaan antara propofol LCT dengan propofol MCT/LCT 1.0% dalam studi yang melibatkan 202 pasien dewasa.
Berbeda dengan studi oleh Larsen dkk, penggunaan emulsi MCT/LCT tidak menyebabkan insiden nyeri rendah secara keseluruhan, walaupun remifentanil telah diberikan sebelum injeksi propofol. Dalam stusi Larsen dkk, hanya 10% dari sub-kelompok 20 anak-anak yang diberikan propofol MCT/LCT 1.0% melaporkan nyeri. Tetapi, dalam kelompok yang diberikan propofol LCT 1.0%, insiden nyeri setelah injeksi propofol juga rendah (25%).
Karena kesukaran untuk menilai nyeri dan berbagai metode dan desain penelitian, laporan tentang insiden dan intensitas nyeri sewaktu injeksi propofol sukar dibandingkan antara satu sama lain. Terlebih lagi, studi dan data tentang anak-anak jarang didapati dalam konteks ini. Pastinya, anak-anak menemukan diri mereka dalam situasi yang asing dan menakutkan seperti di ruang operasi tidak dapat mengekspresikan derajat nyeri mereka dengan adekuat. Hasilnya, kebanyakan studi dilakukan dengan evaluasi nyeri yang diteliti dari menarik kembali lengan, menangis, menjerit atau meringis. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menggunakan beberapa pendekatan untuk meneliti evaluasi nyeri secara bersamaan.
Keterbatasan studi kami mungkin adalah kekurangan kelompok seterusnya yang telah diberikan lidocaine terlebih dahulu dan tourniket untuk 120 detik atau yang diberikan inhalasi nitrous oksida sebelum injeksi propofol. Sebagai akibatnya, kami tidak dapat membandingkan efektifitas regimen kami secara langsung untuk teknik paling efektif yang ada sekarang. Tambahan lagi, karena pemberian remifentanil sebelum injeksi propofol, reaksi terhadap stimulus nyeri mungkin berkurang dalam kedua kelompok, oleh itu mempengaruhi hasil yang didapatkan dalam studi ini. Tetapi, di kebanyakan institusi, merupakan tindakan klinikal biasa untuk menginjeksi opiod poten seperti remifentanil atau fentanyl sebelum induksi anastesia untuk mengurangkan reaksi pasien terhadap intubasi tracheal atau pemasangan laryngeal mask. Oleh itu, untuk mengatasi situasi klinikal biasa ini, kami memutuskan untuk memberikan dosis sedang remifentanil (0.25 µg · kg—1 · min—1) dalam jangka waktu pendek 1 menit sebelum induksi anastesia dengan emulsi penelitian. Terlebih lagi, karena kami dapat menunjukkan insiden nyeri yang lebih tinggi sewaktu injeksi emulsi MCT/LCT propofol 1.0% apabila dibandingkan dengan studi oleh Larsen dkk, jumlah remifentanil yang diinfus sebelum injeksi obat penelitian sepertinya hanya signifikan secara marginal.
Berhubungan dengan efektifitas persediaan propofol 0.5%, kami tidak menemukan banyak perbedaan dalam dosis obat dibandingkan dengan propofol 1%, dan jumlah yang diperlukan masih dalam batas normal untuk anak-anak pada umur ini, mengatakan bahwa efektifitas tidak berubah oleh pengenceran. Konsep ini didukung oleh fakta bahawa penggunaan formulasi propofol lain dengan konsentrasi propofol yang lebih tinggi tidak menyebabkan perubahan terhadap dosis yang diperlukan. Tetapi, karena studi ini tidak didesain untuk mencari dosis, studi dengan tujuan akhir ini perlu dilakukan seterusnya untuk menjawab persoalan itu.
Berhubungan dengan perubahan hemodinamik, tidak ada intervensi medis perlu dilakukan oleh ahli anastesi yang hadir yang tidak mengetahui tentang studi pengobatan ini. Dalam kedua kelompok, semua parameter vital selalu dalam batas yang dapat diterima untuk anak-anak berumur 2-6 tahun. Parameter hemodinamik tidak berbeda antara kelompok dalam nilai yang absolute. Tetapi, penurunan tekanan arteri mean dalam kelompok propofol 0.5% lebih jelas berbanding kelompok propofol 1.0%. Penurunan ini disebabkan oleh tonus simpatetik yang rendah yang disebabkan oleh pengurang stimulus nyeri dalam kelompok propofol 0.5% tidak dapat dijawab oleh data kami.
Insiden nyeri sewaktu injeksi propofol berkurang tiga kali lipat dengan formulasi 0.5%, dari 70% dengan emulsi MCT/LCT propofol 1% menjadi 23% dengan konsentrasi 0.5%. Dalam populasi kecil studi kami, dosis kumulatif sehingga 4-5 mg/kg propofol menyebabkan peningkatan level trigliserida yang moderat dan tidak menyebabkan kejadian buruk yang signifikan.
Jurnal Anestesi_Diterjemahkan saat clerkship di bagian Anestesi